Ranjang Pengantin Untuk Suamiku

Dinda

Ranjang Pengantin untuk Suamiku

OPINI | 04 October 2014 | 22:17


Rapat keluarga di ruang Jogosatru baru saja usai, Rapat yang dihadiri oleh keluarga besar Dipadiharja telah memutuskan bahwa Mas Hernowo, suamiku harus segera menikah lagi. Suamiku harus menikah lagi, karena waktu yang telah diberikan kepada kami untuk mempunyai keturunan setelah pernikahan kami tak kunjung membuahkan hasil. Walaupun kami sudah berusaha dengan berbagai cara, baik dengan pemerikasaan medis yang lengkap maupun menuruti berbagai saran dari keluarga dan kerabat. Yaa….aku belum juga hamil, walaupun dokter tak menemukan sesuatu keanehan dan penyakit dalam rahimku.

Sedangkan keluarga besar Dipadiharja sudah sangat menanti akan datangnya keturunan dari  Mas Hernowo, sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga  besar Dipadiharja. Keluarga Dipadiharja yang merupakan keluarga besar yang mempunyai beberapa usaha di bidang industri Rokok Kretek dan Pengolahan Gula tebu dan Batik khas Kudus. Untuk meneruskan dan melestarikan usaha pada generasi keluarga besar Dipadiharja, Mas Hernowo harus mempunyai keturunan terutama laki-laki, karena dari semua saudaranya Mas Hernowo adalah anak laki satu-satunya. Walaupun Mbah Dipadiharja mempunyai 3 orang istri. Tetapi dari semua istrinya tidak ada yang mempunyai anak laki-laki, kecuali ibu dari Mas Hernowo  sebagai istri ke tiga yang melahirkan anak laki-laki, yaitu Mas Hernowo.

Ini sudah menjadi konsekuensiku menjadi istri Mas Hernowo, karena sebelum kami menikah saya sudah dijelaskan terlebih dahulu dalam suatu rapat keluarga besar Dipadiharja ini. Bahwa kami harus mempunyai keturunan terutama laki-laki dan kami diberi waktu selam 8 tahun untuk mengusahakannya. Selama 8 tahun waktu yang sangat melelahkan bagi kami.  Aku dan Mas Hernowo selalu berburu dokter dan perawatan lainnya untuk mendapatkan keturunan. Dan inilah hasilnya. Aku harus merelakan suamiku untuk menikah lagi demi untuk memperoleh keturunan.

*********

“Sebenarnya saya tidak bisa menerima keputusan ini Jeng….” kata Mas Hernowo ketika kami sudah berada di kamar berdua. Aku hanya bisa diam memandang ujung tiang soko yang sebagian ada di dalam kamar kami. Hatiku yang sudah kuatur bertahun-tahun lamanya seolah porak poranda lagi.

“Dari awal aku mencintai Jeng…bukan karena rahimmu..aku sangat mencintaimu seutuhnya Jeng ” aku masih membiarkan Mas Hernowo bicara sendiri karena pikiran ku melayang pada peristiwa 10 tahun yang lalu. Saat aku mengenal Mas Hernowo sebagai kakak tingkat di kampusku. Perhatian , ketulusan dan kesederhanaannya lah yang membuat aku jatuh cinta padanya. Mas Hernowo sama sekali tidak menampakkan bahwa dia anak keturunan dari dinasti industri Kretek di kota Kudus. Tidak seperti laki-laki lain yang sok perlente saat mendekatiku.  Prestasi Mas Hernowo juga sangat bagus, selain gemar berorganisasi Mas Hernowo juga gemar berkesenian. Berbagai acara pertunjukan kesenian diikutinya. Mas Hernowo selalu sopan dan menyenangkan terhadap orang tuaku. Sehingga Bapak Ibu pun terpincut kesopanan dan kebaikan Mas Hernowo. Bapak sempat kaget setelah setelah mengetahui bahwa Mas Hernowo adalah putra dari keluarga Dipadiharjo. Seolah Bapak sudah melihat akan ada beban berat di pundakku bila aku bersuamikan Mas Hernowo. Apalagi setelah mengetahui bahwa Mas Hernowo putra satu-satunya di keluarga tersebut.

“Aku ingin Jeng bicara….jangan hanya menerima keputusan saja….kalau memang Jeng tidak bisa melakukan ini…..karena saya pun juga keberatan Jeng….”

“Aku tidak akan bisa melakukannya Jeng…..aku sangat mencintai Jeng….aku tidak bisa menduakannya….aku tidak bisa melakukannya jeng”. kata-kata Mas Hernowo terpaksa membuatku menoleh padanya. Sebuah air mata bening menetes di sudut mataku segera kuhapus. Aku harus tegar, aku harus bisa memberi semangat pada Mas Hernowo untuk menerima keputusan rapat itu. Aku harus menguatkannya, dan aku sendiri sudah menerima keputusan itu.

“Mas….toh kita tetap masih bersama kan Mas….walau Mas bukan lagi milikku seutuhnya, paling tidak kita masih bisa saling memandang tiap hari” aku mencoba tegar. walau hatiku terasa teriris sembilu.

“Aku tahu Jeng pasti akan terluka karenanya…walaupun Jeng tak menunjukkan…Aku tidak bisa menyakiti orang yang sangat aku cintai Jeng….” jelas Mas Hernowo sambil merapatkan badannya ke tubuhku. Aku merasakan ada cairan bening hangat yang hinggap di pipiku saat Mas Hernowo pelan-pelan menciumku.

“Besok masih ada pertemuan keluarga lagi Jeng….semoga kita masih diberi kesempatan untuk berbicara….tolong Jeng katakan..kalau Jeng keberatan…saya yakin mereka pasti akan menerima dan mencari solusi lain….toh…keponakan-keponakan kita juga banyak yang laki-laki…mereka juga berhak meneruskan jalannya perusahaan..”.

“Kita tunggu besok Mas…semoga mereka mau menerima alasan kita, bahwa kita saling mencintai dan tak ingin saling melukai…” aku hanya menimpali sekenanya pendapat suamiku. Karena sebagai seorang wanita aku sudah merasa pasrah, apa yang menjadi keputusan keluarga dan suamiku.

Aku jadi ingat petuah dan nasehat sesepuh yang diberikan saat kami hendak menikah dulu. Sebagian orang Jawa masih menganggap bahwa perempuan hanyalah sebagai wadah (cawan) dari permata mulia milik laki-laki. Perempuan hanya sebagai emban, sebagai klangen kehidupan laki-laki. Sehingga laki-laki berhak untuk berpoligami bila diperlukan.

***************

Esok harinya rapat keluarga besar Dipadiharjo digelar kembali, aku dan Mas Hernowo juga turut di dalamnya. Tetapi aku sudah tidak diberi kesempatan untuk berbicara, bahkan mereka memberi pengertian padaku akan posisi perempuan Jawa.  Bahwa perempuan harus eling karena posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki sebagai takdir Tuhan. Perempuan harus isin yaitu harus memiliki rasa malu dan bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu. Perempuan harus sabar dan tangguh menghadapi berbagai cobaan hidup, serta harus legawa, yaitu rela menerima kondisi seberat apapun dan pantang mempertuntutkan hawa nafsu.

Aku hanya bisa diam saja mendengarkan putuah sesepuh keluarga ini. Mas Hernowo di sebelahku hanya mampu menggenggam tanganku erat-erat. Karena sekali dua kali Mas Hernowo hendak berbicara namun tiada digubris sama sekali.

“Hernowo…engkau hanya akan mempunyai hak bicara..dan wewenang semua warisan keluarga Dipadiharja bila nanti sudah mempunyai keturunan….sebelum itu kamu hanya dianggap sebagai anggota keluarga biasa..” Mas Hernowo pun hanya bisa mengangguk lemah.

Pada rapat kali ini sudah diputuskan siapa wanita yang hendak menikah dengan suamiku. Kami tidak diberi kesempatan untuk memilih sendiri. Karena para tetua sudah memperhitungkan dari segi bibit, bobot dan bebet. Bibit seorang wanita bisa dilihat dari keturunannya, bobot merupakan kwalitas dan karakter seseorang perempuan, sedangkan bebet bisa dilihat dari ciri-ciri fisiknya.

Pilihan sudah dijatuhkan. Siti Sholeha, putri dari H. Danuri, seorang alim ulama di Kudus, seorang lulusan pondok pesantren. Aku memang belum pernah bertemu dengan anaknya, hanya beberapa kali mengikuti ceramah bapaknya saja. Keputusan rapat sudah bulat. Dan tinggal pelaksanaannya saja. Besok akan diadakan acara nakokke , utusan dari pihak keluarga Dipadiharja akan berkunjung ke tempat tinggal orang tua Siti Sholeha. Selanjutnya segera diadakan acara lamaran, sambil berunding kapan acara pernikahan bisa dilaksanakan. Pihak keluarga menginginkan secepat mungkin.

Mas Hernowo sendiri sekarang berubah agak pendiam. Aku menyadari kegundahan hatinya. Dia sebenarnya tidak ingin melakukan apa yang sama sekali tidak diingikannya. Aku tetap berusa tenang dan menerima semua ini. Walaupun hatiku terasa hancur, bagaimana tidak, aku harus berbagi suami. Harus ada orang lain diantara kami. Aku takut bila nantinya mereka sudah mempunyai keturunan apakah Mas Hernowo sedikit demi sedikit akan berubah dan menjauhiku. Aku akan kesepian sendiri. Tapi bila mengingat keadaanku yang belum juga berketurunan aku harus rela, aku harus berkorban demi keluarga besar Dipadiharja ini.

“Pengorbananmu akan dibalas sing kuasa Nduk….sing sabar lan sumareh yo…” begitu pesan ibu mertua yang sudah biasa hidup bersama madu-madunya. Ibu tampaknya mengerti akan kegelisahan dan kesedihannku. Sehingga ibu memberiku kesibukan untuk mengurusi usaha batiknya.

Semakin dekat hari H kesibukan semakin meningkat, rupanya akan diadakan upacara pernikahan secara besar-besaran seperti permintaan keluarga keluarga H. Danuri. Aku tidak mengerti apakah mereka juga mempertimbangkan perasaanku tau tidak. Aku tidak pernah dimintai pendapat lagi. Kecuali Ranjang Pengantin dan pernik-perniknya mereka meminta pendapatku. Karena kamar pengantin mereka ada di kamarku sebagai kamar utama yang terletak di Sentong tengen, maka aku harus pindah kamar. Aku memilih tinggal di gladak yang agak tertutup, karena letaknya ada di bawah ruang Jogosatru , jadi aku bisa lebih leluasa menyendiri. aku ingin menyelesaikan beberapa karya fiksiku yang sempat terbengkalai.

Sehari sebelum hari H. aku dan Mas Hernowo masih menempati kamar utama, baru esok sebelum di gelar upacara ijab-qobul ranjang pengantin itu akan dipasang dan dihias. Malam ini menjadi malam yang terakhir aku memilki suamiku secara penuh.

“Jeng…kenapa harus berakhir begini….maafkan aku Jeng…” ucap lirih Mas Hernowo di telingaku.

“Mas harus tetap tegar…Mas harus ingat sebentar lagi Mas akan menjadi bapak…Mas akan segera punya keturunan. Kuatkan hati….pandanglah masa depan itu dengan lebih baik…untuk kebaikan kita semua ini Mas…aku sudah mengiklaskan, karena aku sangat mencintai Mas…” aku hanya bisa berpura-pura tegar dan memberi semangat pada suamiku.

Malam itu kami habiskan untuk menikmati indahnya cinta secara penuh, melebihi saat malam petama dulu. Semalaman kami tidak ingin melewatkannya. Karena tinggal malam ini saja aku memiliki suamiku secara utuh, masih milikku. Dan esok aku harus membaginya, aku harus banyak mengalah dan sabar.

*************

Hari yang ditunggupun tiba. Pagi-pagi aku sudah memberesi tempat tidur yang biasa kami pergunakan bercinta ke Gladak. Dengan dibantu beberapa rewang , dalam sekejap tempat tidurku sudah tertata rapi. Aku tidak ingin mengganti spreinya. Sprei yang menjadi saksi indahnya percintaan kami semalam. Bau keringat kami beradu ada di sprai itu. Seharian aku hanya terdiam di ruang Gladak yang sekarang telah berubah menjadi kamarku. Aku habiskan waktu untuk menulis merampungkan fiksi-fiksiku. Suara gaduh di luar masih saja aku dengar, celoteh agak jorok para ibu di pawon, atau kemeriahan yang terjadi di Pendopo dan Pringgitan. Aku tak ingin menengoknya. Lebih baik aku menguatkan hatiku di sini. Aku hanya beberapa saat membantu tukang dekor yang akan menyulap kamarku menjadi kamar pengantin buat suamiku. Karena aku yang tahu selera Mas Hernowo maka aku dimintai pendapat soal hiasan kamar pengantin. Serta Ranjang Pengantin yang disukai Mas Hernowo. Dengan lapang dada aku membantunya. Walau hatiku terasa hancur memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam antara suamiku dan pengantin wanitanya. Maka aku segera bergegas kembali ke Gladak.

************

Tak terasa kemeriahan di luar sudah agak berkurang bahkan sudah sepi. Ternyata memang sudah malam , jam 11 malam. Samar-samar aku dengar suara langkah kaki menuju kamarku. Suara langkah kaki yang terburu-buru….dan terasa berat.

” Lila…Lila…Lila…bukakan pintu….” aku hafal betul….itu suara Mas Hernowo, bukankah ini saat malam pengantinnya. Seharusnya Mas Hernowo sedang menikmatinya bersama istri barunya. Bukan malah mencariku di sini. Ketukan di pintu semakin kencang. Maka aku segera membukanya.

“Lila…..aku tidak bisa  Jeng….aku tidak bisa melakukannya…” kata Mas Hernowo yang sudah bersimpuh di kakiku.

“Mas….akan bisa….Mas harus bisa….Mas harus melakukannya….demi keluarga besar Dipadiharja” kataku sambil membangunkan suamiku.

“Mas..tidak boleh bersimpuh di kakiku perempuan mandul ini…Mas..masih mempunyai masa depan yang panjang…Mas adalah Priyagung tidak  boleh berperilaku seperti itu..”

” Tidak…Jeng…aku tidak bisa melakukanya. aku hanya ingin melalukan denganmu…” suara pelan Mas Hernowo  yang sudah memelukku erat.

Sementara di belakang Mas Hernowo aku lihat seorang perempuan setengah telanjang, yang sedang sangat birahi mengigil kedinginan. Rambutnya yang panjang sebahu, dengan dada yang membusung dan wajah yang cukup cantik pastilah akan membuat semua pria ingin memilikinya. Kenapa dengan Mas Hernowo. Kenapa tidak mau mententuhnya.

“Aku hanya ingin memuntut hakku sebagai istri…Mbak…” aku lihat wajah perempuan itu agak memucat.

Aku segera mengambil sprei yang kami bergunakan bercinta semalam, yang sudah terpasang di tempat tidurku. Aku tutupkan sprei itu ke tubuh wanita itu, sambil menggamitnya untuk kembali ke kamar utama. Mas Hernowo hanya mengikuti kami dari belakang.

Sesampainya di pintu kamar aku melepas sprai itu dan menyuruh wanita itu untuk memasangnya di ranjang pengantinnya.

“Mas ..pasti bisa melakukannya. ciumlah bau birahi kita semalam yang tertampung di sprai itu…..Mas..pasti bisa melakukannya” kataku pada Mas Hernowo dan segera menutup pintu kamar dari luar. Aku tidak memberi kesempatan Mas Hernowo untuk berkata apa-apa.

Aku segera kembali ke Gladak ke tempat tidurku yang sudah usang namun masih sangat nyaman. Aku pusatkan perhatianku untuk terus memuji dan berzdikir pada Tuhan. Aku sudah tidak memperdulikan perasaanku lagi. Tak boleh lagi ada air mata menetes.  Apalah artinya aku sekarang, hanya wanita mandul belaka.

Lamat-lamat aku dengar suara orang yang sedang membang Kinanthi :

Dhuh ger putra putraningsun,

nadyan wus kanthi pinusthi,

Marang Hyang Kang Murbeng Titah,

graitaning para putri,

saprahastha para putra,

tarantananing pamikir.

Marma ger aywa sireku,

pasang sumeh jroning ati,

katitik tyas lan sembada,

marang apngaling Hyang Widdhi,

kang widagda tuhu wignya,

anyolahken bawa maring.

(diambil dari serat Wulang Putri oleh Sinuhun Paku Buwana IX ).

Keterangan :

jogosatru = ruang depan dalam Rumah adat Kudus yang biasa dipergunakan untuk ruang tamu.

soko = tiang pilar pada rumah gebyok adat Kudus , biasanya 4 soko yang menjadi penjangga ruang jogosatru.

wadah (cawan) = tempat yang berbentuk cekung.

emban = pembantu.

klangen = penghias kehidupan.

eling = ingat.

isin = malu

legawa = rela

bibit = keturunan

bobot = nilai, kwalitas

bebet = jenis

nakokke = menanyakan pada pihak keluarga wanita apakah anaknya sudah ada yang melamar atau belum.

lamaran = acara pengikat bahwa seorang wanita sudah ada yang hendak menikahinya.

nduk = panggilan untuk anak perempuan Jawa.

sentong tengen = ruang bagian belakang dari rumah adat Kudus yang terletak di sebelah kanan.

gladak = ruang di bawah jogosatru dari Rumah adat kudus, biasanya kosong atau untuk menyimpan barang berharga.

rewang = orang yang bekerja sebagai pembantu.

pendopo = ruang pertemuan pada Rumah Adat kudus.

pringgitan = ruang untuk pertunjukan pada rumah Adat Kudus.

tukang dekor = orang yang mempunyai kepandaian mengias pelaminan dan sebagainya.

pawon = dapur

Kudus, 4 September 2014 ; 20.02

‘Allahu Akbar- Allahu Akbar Walillah Ilham’

di sela-sela Takbir Idul Adha

Dinda Pertiwi.

Golok-golok menthok tradisi Maulid Nabi di Kudus

Sosbud

Dinda

Pertiwi

ibu rumah tangga……

Golok-Golok Menthok (Tradisi Peringatan Maulid di Kudus)

HL | 03 January 2015 | 16:01 Dibaca: 174   Komentar: 20   8

142028296020315630

Golok-golok menthok

bancaane bocah wedhok

cah lanang ra enthuk njanthok

nek njanthok udele kethok….

Itu bunyi lagu dolanan yang biasa dilakukan serombangan anak-anak sambil membawa golok-golok menthok ke Masjid, Mushola ataupun tempat ngaji. Arti lagu dolanan khas Kudus itu artinya..

Golok-golok menthok ….

selamatannya anak perempuan …

anak laki-laki tidak boleh minta

kalau minta pusarnya kelihatan.

14202718621202853238

Gambar : Golok-golok menthok Raksasa yang tadi pagi diarak di Mushola Raudhatus Solihin Kel. Mlati Kidul Kudus.

Walaupun kenyataannya semua anak baik laki-laki maupun perempuan bersama-sama berjalan menuju Masjid, Mushola, maupun tempat ngaji, dengan membawa nanya atau seperti rantang dari bambu tipis, yang dicat merah hijau. Biasanya di dalam nanya sudah diisi dengan aneka jajan pasar, atau yang lebih spesifik diisi dengan nasi beras ketan kuning yang di atasnya diberi serundeng, kelapa warna-warni atau atau abon.

14202727341254624393

14202729891719096568

Tradisi dalam rangka menyambut maulid Nabi atau di Kudus lebih banyak disebut acara Muludan biasanya diisi dengan acara Golok-golok menthok tersebut. Anak-anak bisa membawa 4 atau 5 nanya berisi makanan tersebut, untuk dikumpulkan di masjid, mushola, maupun tempat ngaji. Setelah Golok-golok menthok itu terkumpul maka akan didoakan oleh para Kyai atau sesepuh agama di desa tersebut.  Selesai didoakan biasanya dibagi lagi secara acak, jadi tidak boleh membawa kembali nanya yang dibawa dari rumah. Hal ini bisa menyebabkan ada beberapa anak yang gembira karena mendapat nanya yang isinya lebih enak dari yang dibawa, tapi ada juga yang sedih karena mendapat nanya yang isinya kurang enak dari nanya yang dibawanya semula. Namun hal itu diterima dengan suka rela, riang gembira untuk dinikmati bersama-sama.

Sambil menikmati makanan yang ada di dalam nanya tersebut biasanya diisi dengan nasehat atau petuah dari para Kyai atau Sesepuh agama yang berkaitan dengan lahirnya Nabi Besar Muhammad SAW.

Setelah itu dilanjutkan dengan Sholawatan yang sudah dikumandangkan sejak habis sholat Subuh oleh para bapak dan laki-laki di desa tersebut.

1420274158983182672

Demikian sebuah acara tradisi yang memuat kearifan lokal yang patut dilestarikan, selain acara Golok-golok menthok ini di desa Loram Kulon  kec. Jati juga di adakan tradisi Ampyang yang diarak di jalan desa tersebut.

Ampyang biasanya berupa bentuk-bentuk wayang yang di dalamnya berisi berbagai hasil bumi, berupa sayur-sayuran dan buah-buahan yang dibungkus dengan daun jati. Pawai arak-arakan biasanya dimulai dari lapangan desa menuju ke Masjid Wali Ngloram Kulon, untuk didoakan oleh para Kyai dan Sesepuh, setelahnya boleh dibagi-bagi atau dibuat keroyokan.

Semoga tulisan ini menambah khasanah budaya bangsa Indonesia, dalam berbagai budaya dalam rangka menyambut kelahiran Baginda Rosul Muhammad SAW.

الصلاة والسلام عليك يا نبي الله ، الصلاة والسلام عليك يا رسول الله، الصلاة والسلام عليك يا حبيب الله ، الصلاة والسلام عليك يا صفي الله، الصلاة والسلام عليك يا صاحب الشفاعة.
Ashhalãtu wassalãmu ‘alaika ya NabiyyaLlãh, ashshãlãtu wassalãmu ‘alaika ya RasülaLlãh, ashshalãtu wassalãmu ‘alaika HabïbaLlãh, ashshalãtu wassalãmu’ãlaika ya ShafiyyaLlãh, ashalãtu wassalãmu ‘alaika ya Shãhibasy-syafã’ah

Kudus, 3 Januari 2015 ; 15:52

‘Selamat bermaulid Nabi ‘

Dinda Pertiwi

Gendam

Dinda

Gendam

OPINI | 17 January 2015 | 08:45

Pagi itu Hesti bergegas menuju ke counter kosmetik yang berada di sebuah Mall di kotanya. Malam tadi Hesti baru menginap di rumah salah seorang sahabatnya, mereka bercerita-cerita hingga dini hari, sehingga paginya mereka terlambat bangun. Mall sudah ramai benar ketika Hesti sampai di Mall tempatnya berjualan itu. Maklumlah hari itu hari libur, hari minggu dan menjelang ramandhan pula. Mall penuh sesak pengunjung sampai di pelatarannya.

Karena sudah kesiangan hesti tergesa-gesa menuju tangga Escalator, untuk menuju lantai 2 Mall dimana counternya berada. Sebelum naik ke tangga tiba-tiba seorang laki-laki berperawakan agak gemuk dan pendek menghampirinya. Menepuk pundaknya, sambil berkata :

“Mbak…..maaf menggangu…..saya mau tanya…kalau mau ke Yogya…saya harus naik apa ya……” walau sudah tergesa-gesa Hesti mengurungkan diri menaiki tangga escalator untuk menjawab pertanyaan laki-laki tersebut. Dahinya agak berkerut..perpkir sejenak…kok aneh ini orang ada di kota Kudus……kenapa kok tanya mau ke Yogyakarta ya…jauh amat, tapi kemudian timbul rasa iba dan penasarannya, sehingga membuatnya menyurutkan langkah menuju tempatnya berjualan.

” Yogya…jauh dari sini Pak….memang bapak dari mana ..ini kan di Kudus..jauh kalau mau ke Yogya, harus ke Semarang dulu, dari sini naik angkot ke terminal, dari terminal naik bis ke Semarang, nanti dari Semarang naik aja bis ke Yogya…..” jelas Hesti sambil menunjuk angkot yang lewat di depan Mall  menuju terminal bis.

Setelah memberi penjelasan walau agak penasaran juga, siapa dan kenapa bapak itu bisa sampai Kudus  kalau mau ke Yogya, namun karena sudah kesiangan dan dia harus segera membuka counternya yang ada di dalam Mall maka rasa penasarannya dikesampingkan, dan melanjutkan langkahnya menuju tangga escalator.

Namun belum juga kakinya melangkah, seorang laki-laki lain yang membawa tas belanjaan dari mall tersebut menghampirinya.

“Ada apa sih Mbak…..” terpaksa Hesti mengurungkan langkahnya kembali untuk menerangkan pertanyaan bapak tersebut, siapa tahu laki-laki itu bisa mengantarkan atau memberi penjelasan yang lebih rinci kepada bapak yang pertama tadi, dan dia bisa melanjutkan langkah untuk berjualan.

“Bapak ini mau ke Yogya….Mas..tapi nyasar sampai Kudus, tolong jelaskan Mas…saya mau jualan…” kata Hesti tergesa-gesa sambil meneruskan langkahnya, belum sampai naik ke tangga, laki-laki itu bertanya pada Bapak itu.

“Memang ..mau ke Yogya mau kemana Pak….” tanya laki-laki itu.

“Saya dari Kalimantan mau ke Museum di  Yogyakarta…..mengembalikan kitab warisan kakek buyut saya ke museum sesuai dengan amanah beliau sebelum meninggal….” kata-kata itu masih jelas terdengar di telinga Hesti sehingga menyurutkan langkahnya, membuatnya penasaran ada kata museum dan kitab warisan. Dua hal yang pernah menarik perhatiannya pada waktu kuliah dulu. Dan juga kata Kalimantan mengingatkan pada adiknya yang sedang merantau disana,  hal itu membuatnya ingin menolong bapak itu.

Hesti segera berbalik arah mendekati bapak dan laki-laki itu. Rasa penasarannya bertambah menjadi-jadi ketika laki-laki itu berkata:

” Wah..boleh saya lihat Pak…..Mbak gak ingin tahu apa dengan yang  dibawa bapak ini…kitabnya seperti apa sih Pak…” tentu saja Hesti sangat penasaran.

“Iya…Mas…saya juga pingin lihat….boleh Pak…kami melihatnya sebentar…..” pertanyaan Hesti pada bapak itu.

“Boleh…Mbak…tapi disini ramai…rawan…karena kitab yang saya bawa ini mempunyai nilai tinggi….saya takut membukanya di tempat umum…nanti ada orang yang bermaksud tidak baik..”

“Waah…di sebelah mall ini ada Rumah Sakit Pak…mungkin disana agak sepi…bisa kita kesana…ayo mbak ikut nggak….” kata laki-laki tersebut.

“Iya..Pak…tapi saya mau naik sebentar naruh tas saya ini ke laci counter tempat saya jualan di atas…”

“Gak..usah mbak…sebentar saja..saya tergesa-gesa kok…” ujar bapak itu.

“Oke…pak saya ikut sebentar…” kata Hesti sambil mengikuti kedua laki-laki itu yang sudah berjalan di depannya.

Diperjalanan menuju Rumah Sakit Hesti berpikir kenapa harus ke Rumah Sakit ya….kan di depan itu ada sebuah Rumah Makan yang agak sepi …apa gak lebih baik kesana aja ya…

“Pak…jangan di rumah Sakit deh Pak….kan lebih baik kita ke Rumah Makan di depan sana….yang sepi dan nyaman lebih leluasa……”pinta Hesti seolah sudah tak ingat akan counternya lagi.

“Iya..mbak..klo mbak menginginkan kita ke Rumah Makan lebih baik kita kesana aja……biar kita bisa sambil minum-minum..”

Tak lama kemudian mereka sudah berada di Rumah Makan  yang ada di depan Rumah Sakit. Mereka langsung memesan minuman,  Hesti memesan Es Teller kesukaannya.

“Begini ya …Mbak…Mas….sebelum saya membuka kitab ini maukah kita berdoa sebentar karena kitab ini sangat mengandung magis….” Bapak itu memulai aksinya. Namun belum selesai Hesti membaca doa apa-apa, bapak itu sudah bilang amin…selesai.

“Selanjutnya maukah Mas dan Mbak…berjanji tidak akan menceritakan pada seorangpun kalau sudah pernah melihat kitab ini….karena nanti setelah melihat kitab ini kalian akan mempunyai kesaktian…bahkan bisa menolong orang yang sakit…” sambung bapak itu.

“Waaah…..kita beruntung sekali Mbak….bisa diberi kesempatan melihat kitab yang sangat banyak kesaktiannya ini…..Pak maaf…kalau kitab itu tidak usah dikembalikan ke Museum tapi biar untuk saya saja gimana….saya sanggup membayar berapa pun yang bapak minta..kok..” ujar lelaki  muda itu menimpali.

“Maaf..Mas..saya tidak ingin menjual belikan kitab ini…karena kitab ini nilainya tak mungkin terjangkau oleh kita…” jawab bapak itu. Lalu bapak itu memandang Hesti dengan seksama.

“Saya malah cenderung ingin mengamanatkan kitab ini pada Mbak nya ini….karena saya lebih percaya pada mbak ini sehingga akan lebih banyak menolong orang….karena saya lihat mbak  hatinya yang lebih bersih….namun sayang….sepertinya mbak ini…ada sesuatu di dalam tubuhnya….mungkin telah ada orang yang mengguna- gunai mbak….coba mbak matanya dipejamkan..telapak tangannya dibuka….” , Bapak itu terus saja melancarkan aksinya tanpa disadari Hesti. Hesti hanya menurut saja kata-kata bapak itu dengan membuka telapak tangannya.

“Maaf…mbak..ternyata dugaan saya benar…coba mata mbak dipejamkan saya ingin mengambil sesuatu yang ada dalam tubuh mbak..melalui ujung cari mbak..”

“Iya..Pak terima kasih padahal..saya gak merasa punya musuh looh…mosok ada yang jahat kesaya memasang sesuatu di tubuh saya…” jawab Hesti menerangkannya.

“Mbak….kita jangan percaya begitu saja pada bapak ini…coba kalau memang dia sakti sebaiknya bapak ini kita uji terlebih dulu Mbak……” bisik lelaki yang muda itu ke arahku ketika tiba-tiba bapak itu berdiri agak menjauh.

“Bapaknya suruh nebak….uang lima puluh ribuan ini genggam tangan kanan dan uang sepuluh ribuan ini gemggam tangan kiri…coba nanti bapaknya suruh nebak….” setelah bapaknya mendekat tiba-tiba bapak itu bilang kalau tangan kanan Hesti ada uang Lima puluh ribuan dan tangan kirinya pegang uang sepuluh ribuan. Hesti masih belum mengerti juga permainan dua lelaki yang baru dikenalnya itu. Tapi nalarnya tak bisa berjalan sebagaimana mestinya.

“Mbak….sepertinya ada seseorang yang sedang mengguna-gunai mbak….kalau mbak gak percaya biar saya obati….mungkin ada sesuatu yang ditanam dalam tubuh mbak…” Hesti masih belum mengerti kok tiba-tiba bapak itu bilang begitu, tapi Hesti nurut saja apa perintah kedua laki-laki itu.

“Coba  mbak..pejamkan matanya sebentar…ulurkan ibujarinya ya….” Hesti hanya mengikuti perintah itu.

“Sudah mbak..buka matanya …ini saya mengeluarkan sebuah paku dari ibujari Mbak….” meski tak percaya Hesti sempat terkejut juga…mosok sih ada paku di tubuhku….tapi belum sempat berpikir panjang bapak itu sudah terus melancarkan aksinya.

“Begini mbak….saya percaya pada mbak…kitab pusaka ini mau saya kasihkan sama mbak….tapi saya harap tubuh dan harta mbak bersih, tadi saya sudah membersihkan tubuh mbak..dengan mengambil paku dari tubuh mbak..sekarang mbak tinggal membersihkan harta benda mbak…” belum selesai Hesti mengerti kata-kata bapak itu, laki-laki yang muda itu mengeluarkan semua uangnya dari dompet, bukan itu saja HP dan juga cintin batunya pun diserahkan pada bapak itu…

” Saya juga ingin membersihkan harta benda saya pak…tolong harta benda saya ini dibersihkan dan didoakan ya…..mbak apa gak ingin harta bendanya bersih to…” Hesti sempat melonggo tak mengerti tapi dia segera meniru tindakan laki-laki itu dengan menyerahkan uang yang ada di dompetnya, padahal dia ingat kalau uang itu akan digunakan untuk membayar gaji bulanan 2 karyawannya. Tapi belum sempat berpikir panjang bapak itu berkata :

“Mbak..jangan kuatir ini hanya saya bersihkan, saya doakan saja nanti saya kembalikan….”

“Mbak..mosok hanya uang saja…itu mbak pakai kalung, anting dan juga cincin …….kasihkan aja mbak biar dibersihkan bapaknya…” lagi-lagi Hesti belum bisa berpikir panjang tapi hanya menurut saja mencopoti semua perhiasan yang ia gunakan dan memberikannya pada bapak itu.

“Mbak…lah itu HP nya gak dikasihkan….mbak pasti punya ATM juga kan ..kasihkan aja mbak..biar harta benda kita bersih…” tanpa bisa berpikir panjang Hesti hanya menurut aja memberikan HP dan ATM harta bendanya terakhir yang masih ada semua diberikan pada bapak itu.

“Mbak….ngasih ATM kok gak sekalian PIN-nya kan nanti susah mendoakannya…” Hesti pun segera mengambil kertas dan pulpen dan menuliskan PIN 2 ATM-nya  dan memberikanya pada bapak itu..

“Jangan kawatir mbak..saya hanya ingin mendoakan saja….” kata bapak itu setelah melihat ada keraguan di wajah Hesti. Hesti masih berpikir akan didoakan saat itu juga dan segera semua di kembalikan, tapi ternyata..

” Mbak…ini saya  tidak bisa konsentrasi kalau berdoa di sini …harus di pondok ….ini saya bawa dulu ya…nanti kalau sudah selesai didoakan akan saya kembalikan ke rumah mbak…”

” Iya..mbak..jangan kawatir nanti sama saya mengembalikannya…barang-barang saya juga dibawa bapaknya kok…”

laki-laki muda itu menyakinkan Hesti.

” Tolong tulis nama , alamat dan no telp rumah..ya…biar gampang saya menghubungi mbak..untuk mengembalikan barang-barang ini……” bapak itu berusaha menyakinkan  agar tak perlu kwuatir dengan barang-barang dan uang Hesti.

Setelah itu Bapak itu menyerahkan bungkusan kain putih kepada Hesti .

“Ini Mbak….kitab yang saya bawa….sekarang saya lebih mantab menyerahkan kepada mbak daripada mengembalikannya pada Museum, nanti biar saya yang minta ijinkan kepada almarhum kakek saya…..karena kakek saya pasti akan senang bila kitab ini berada di tangan mbak…tolong bukanya nanti saja setelah saya selesai mendoakan harta benda dan mengembalikannya pada mbak ya….”

” Waaah..mbak beruntung sekali…saya sebenarnya yang ingin merawat kitab itu…tapi ternyata bapak itu lebih memilih mbak…..selamat ya Mbak….” kata laki-laki muda itu untuk lebih menyakinkan saya.

“Sudah…ya mbak…saya harus segera ke masjid untuk mendoakan barang-barang mbak ini….” Bapak itu sudah ingin mengakhiri aksinya.

“Pondoknya di mana Pak…saya ikut… biar nanti bapak tak usah mengantar ke tempat saya ….saya menunggu saja ya….” pinta Hesti.

“Gak usah mbak…..pondoknya jauh…..nanti aja kalau sudah selesai saya akan ke rumah mbak ….” sambil mereka berjalan keluar dari rumah makan.

“Mbak..langsung pulang saja ya…gak usah jualan dulu……dan jangan cerita siapa-siapa ya di rumah nanti….” kata bapak itu tadi sambil memanggil becak yang ada di depan rumah makan itu.  Hati Hesti senang sekali karena bapak itu memberinya uang duapuluh ribu untuk membayar becak itu. Hesti jadi ingat kalau di dompetnya sudah gak ada uang lagi. Semua sudah diberikan kepada bapak itu, termasuk HP yang baru dibelinya kemarin sore, dan sepasang anting berlian dan cincin berlian. Aah….biar sajalah toh ntar sore dikembalikan, hanya didoakan saja kok……tapi apa bener ya….pikirannya kacau antara percaya atau tidaknya janji bapak itu.

Sesampainya di rumah Hesti langsung membersihkan diri dan masuk kamar. Kacau banget pikirannya, namun seperti kata bapak tadi Hesti harus diam aja di kamar dan tidak menceriterakan pada siapa pun tentang peristiwa ini. Dia hanya menunggu sore dan malam , seperti janjinya bapak itu akan datang memberikan semua barang-barangnya yang sudah didoakan .

Malam tiba sudah….tapi tak ada tamu satu pun, Hesti bertanya apa ada tamu yang mencarinya, kakaknya bilang tak ada siapa-siapa. Sampai jam 9 malam telpon rumahnya berbunyi, Hesti segera bergegas, itu pasti bapak yang tadi pikirnya.

“Halo….ini Mbak Hesti ya….begini mbak…saya tidak bisa datang malam ini..tapi besok saya akan datang…..tapi begini mbak…untuk membersihkan harta mbak ini…mbak harus memberi donatur pada Panti Asuhan sebesar 20 juta…segera di transfer ya mbak…..ini syarat untuk membersihkan dan mendoakan mbak looh…”

“Tapi saya saat ini gak punya uang lagi pak kan ATM saya ada di bapak….”

“Pokoknya segera ditransfer ke rekening mbak sendiri yang ATM-nya saya bawa ini….saya yakin besok pagi mbak bisa mengusahakannya..kalau mbak ingin selamat….” nada bapak disana sudah mulai mengancam juga.

Setelah menerima telpon itu, Hesti berpikir kepada siapa hendak meminjam uang itu ya…toh nanti bila barang-barang dan ATM-nya sudah dikembalikan bapak itu dia aka segera mengembalikan juga. Namun beberapa teman dan saudara yang dia telpon hendak dipinjami uang malah jadi terheran-heran, buat apa Hesti sampai pinjem-pinjem uang segala. Sampai esok siangnya bapak itu telpon lagi.

“Mbak…kenapa uangnya belum di tansfer juga…..saya jadi tidak bisa membersihkan harta mbak…dan belum bisa mengembalikannya….” kilah bapak itu sambil terus memojokkan Hesti agar mau segera mengirim uang ke rekeningnya.

Karena waktu sudah sore dan bapak itu tak ada juga datang, akhirnya Hesti menceriterakan kejadian ini kepada kakaknya.

“Apa !!!!!…..kamu kena gendam itu…gak mungkin orang itu mengembalikan barang-barangmu…..malah mau minta uang tambah  ..pula, sudah jangan ditransfer uang lagi..” kata kakak Hesti kaget dengan peristiwa yang dialami adiknya.

Hesti kaget setengah tak percaya..bahwa apa yang dialami adalah gendam. Berarti semua barang-barangnya sudah tak mungkin kembali. Lemas badannya, dia ingat uang yang ia berikan kemarin itu adalah uang untuk membayar 2 karyawannya yang harusnya dia berikan kemarin. Dari mana dia akan mendapat uang secepat ini, pasti 2 karyawannya sudah menunggu. Belum lagi uang di ATM-nya yang merupakan uang cadangan untuk membeli barang-barang dagangannya. HP  kesayangan yang baru dibelinya, dan perhiasan yang penuh kenangan. Semua hilang sudah…..lemes badan Hesti.

Namun bagaimanapun Hesti masih bersyukur hanya hartanya saja yang hilang, orang itu tidak sampai menciderai tubuhnya. Pelajaran penting bisa dipetik dari peristiwa yang dialaminya. Semoga ini bisa benar-benar membersihkan hartanya di depan Tuhan, itu saja harapan Hesti, daripada kecewa terlalu dalam.

Kudus. Sabtu 17 Januari 2015 ; 08:08

’salam fiksi’

Dinda Pertiwi